Monday 19 December 2016

Teori Awal Sistem Diatonik (Part. 2)

2. Penyesuaian Interval Pythagoras
Secara bertahap seiring dengan perkembangan musik, orang mulai merasa janggal dengan interval terts besar Pythagoras, hal tersebut dirasakan karena dalam praktiknya orang sudah cenderung menggunakan trinada pokok seperti yang kita kenal saat ini yaitu Tonika (akor pertama), Dominan (akor kelima) dan Sub Dominan (akor keempat). Pada masa Pythagoras kejanggalan seperti itu belum begitu dirasakan karena pada waktu itu musik yang berkembang dalam masyarakat hanya terdiri dari satu suara (monophony), sehingga tidak membutuhkan trinada atau akor.

Kalau formasi teoretis tentang skala murni merupakan reaksi terhadap sistem Pythagoras, maka hal tersebut seiring pula dengan perkembangan konsep estetik yang bereaksi terhadap pandangan estetik 3 tokoh Yunani (Sokrates, Plato, Aristoteles). Aliran filsafat yang berkembang pada saat itu disebut ”Neoplatonisme” yang dicetuskan oleh Marsilio Ficino (1433-1499) yang merupakan penerjemah Plotinus dan karya lengkap Plato pertama dalam bahasa Latin. Filsafat Ficino merupakan gabungan ide-ide, daya tarik ide-ide tersebut adalah keindahan yang merupakan hasrat cinta.
 
Daya tarik suatu keindahan ditemukan dalam harmoni yang tersusun dari elemen-elemen seperti kebaikan-kebaikan jiwa, warnawarna serta garis-garis pada benda yang tampak, dan dari bunyi musik (Beardsley, 1966). Filsuf lain yang semasa dengan Ficino ialah Leon Battista Alberti (1409-1472), ia mendefinisikan keindahan lebih merupakan suatu tingkatan harmoni tertentu daripada harmoni sebagai syarat keindahan.

Kedua filsuf tersebut menyimpulkan bahwa keindahan berkaitan erat dengan harmoni yang terbentuk dari elemen-elemen, dan keindahan merupakan tingkatan tertentu dari harmoni. Demikian juga dengan perkembangan musik, harmoni yang tadinya diartikan sebagai intervalinterval melodis yang terbentuk dari angka ganjil dan genap, pada abad ke-15 diartikan sebagai gabungan dari beberapa interval yang dibunyikan secara simultan, jadi pemikiran estetik pada masa itu sejalan dengan perkembangan musik.

Walaupun
terts murni pertamakali diformulasikan Bartolomeo Ramos de Pareia (1440-1491) di Spanyol, gejalanya telah tampak sejak masa Yunani, yaitu pada tetrachord. Archytas (427-374 SM) dan Erastosthenes (280-195 SM), tapi masih berada dalam tetrachord enharmonis. Interval terst murni baru tampak pada tetrachord diatonon Dymus (lahir tahun 63 SM) yang intervalnya sama dengan tangga minor. Kemudian interval tersebut dijumpai dalam tetrachord diatonon syntonon dari Ptolemaios (100-180 M).

Untuk memenuhi tuntutan tersebut,
terts Pythagoras harus diganti dengan ”terts murni”,7 yaitu interval yang dihasilkan dengan menurunkan 1 Koma Dydimus pada ketiga trinada pokok. Dalam ilmu akustika musik interval Dydimus tersebut dikenal dengan istilah syntonische komma (Riemann 1967, 409-414).

Tabel 2: Penyesuaian Perbandingan Pythagoras 
Dengan demikian keberadaan terts murni yang memiliki perbandingan 5/4 sebagaimana tertulis dalam tabel di atas, merupakan tingkat perbandingan kelima, yaitu kelanjutan dari tetraktys Pythagoras. Penyesuaian tersebut telah menghasilkan tangga nada murni yaitu yangga nada Pythagoras yang telah mengalami perubahan pada nada ketiga, keenam, dan ketujuh (mi, la, dan si). Jika kedua tagga nada tersebut, yaitu tangga nada murni dan tangga nada Pythagoras dibandingkan maka perbedaannya akan tampak sebagai berikut :
Ilustrasi 3: Penurunan Terts Pythagoras. 

Hasil penurunan terts Pythagoras kemudian dirumuskan ke dalam tangga nada mayor oleh Ramos de Pareia dan dituangkan ke dalam bukunya Music Practica (Bologna, 1482). Ia sebenarnya hanya meneruskan sistem Pythagoras hingga yang keenam. Sehubungan dengan itu sitem Pareiea dikenal dengan sebutan senarius (Sadie, Op. 15, 576-577).

No comments:

Post a Comment